Friday, September 20, 2013

Nenek Moyang Indonesia

Dari Ilmu Linguistik

Dari kajian ilmu linguistik atau ilmu bahasa, bangsa Indonesia adalah penutur bahasa Austronesia. Sekitar 5.000 tahun lalu, bahasa ini sudah digunakan oleh manusia di nusantara. Bahasa ini konon akar dari bahasa Melayu. Bahasa Austronesia memiliki penyebaran paling luas di dunia, khususnya sebelum zaman penjajahan oleh bangsa Eropa terhadap bangsa-bangsa Asia-Afrika.
Bahasa Austronesia berkembang menjadi 1.200 bahasa lokal, dari Madagaskar, Afrika, di barat sampai di Pulau Paskah di timur, dari Taiwan di utara sampai Selandia Baru di selatan . Penyebaran bahasa Austronesia lebih luas dibanding penyebaran bahasa Indo Eropa, Aria Barat, dan Aria Timur atau Semit.
Keturunan Bahasa Austronesia tumbuh dan berkembang ratusan tahun dan digunakan oleh 300 juta manusia di Asia Timur dan Asia Pasifik. Para penutur bahasa Austronesia, beragam, misalnya mulai dari para nelayan, pelaut, pedagang, bangsawan, pengeliling dunia, sampai kaum petani di pedalaman. Sekitar 80 juta manusia penutur bahasa Austronesia hidup di kepulauan nusantara dan kepulauan Pasifik.
Jadi siapa nenek moyang manusia yang bertutur dengan menggunakan bahasa Austronesia yang tinggal di nusantara itu? Masih menjadi kontroversi di kalangan para ahli. Pendapat mereka bermacam ragam, ada yang mengatakan dari Formusa (Taiwan),  Hainan (Hongkong), Yunan (China Selatan), Filipina, atau Jepang.

Dari Bahasa Austrik

Ketua Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI) Harry Truman Simanjuntak pernah berpendapat, rumpun bahasa Austronesia merupakan bagian dari bahasa Austrik. Bahasa ini berawal dari daratan Asia, kemudian terbagi dua, yaitu Austro Asiatik dan Austronesia.
Austro Asiatik menyebar ke daratan Asia, misalnya di Indo-China, Thailand, dan Munda di India Selatan. Sedang bahasa Austronesia menyebar ke selatan dan di tenggara seperti Indonesia, Filipina, Malaysia, sampai ke kepulauan Pasifik.
Menurut teori Model Out of Taiwan, bahasa Austronesia mulai mengkristal di Formusa atau Taiwan. Penutur bahasa ini bermigrasi dari daratan China Selatan 6.000 tahun yang lalu. Diperkirakan mereka berasal dari Fujian atau Guangdong, dua daerah di China Selatan.
Proses kristalisasi bahasa Austronesia di Taiwan kemudian melahirkan budaya Da-pen-keng. Budaya tersebut berkembang dan bercabang-cabang menjadi sejumlah dialek lokal. Itu terjadi sekitar 4.700 tahun lalu. Pada masa Austronesia awal tersebut manusia sudah mengerti memelihara babi dan anjing, sudah mengenal budidaya padi meski masih sederhana, menanam ubi dan tebu, membuat kain dari kulit kayu, dan membuat gerabah..
Ratusan tahun kemudian budaya mereka meningkat lagi. Misalnya mulai menggunakan peralatan dari batu dan tulang dan mulai membuat kano, perahu kecil dan sempit.
Sejumlah kelompok penutur bahasa Austronesia ini kemudian mulai berkelana ke selatan, lewat lautan, dengan menggunakan perahu yang sederhana, yang lebih banyak digerakkan oleh arus ombak lautan. Mereka terus bergerak ke arah selatan. Di antara mereka ada yang bergerak kearah Asia Tenggara, sampai ke Filipina dan Kalimantan Utara. Itu terjadi 4.500 tahun yang lalu.
Kelompok pemukim awal di Filipina atau di Kalimantan Utara ini akhirnya menciptakan bahasa Proto Malayo Polynesia (PMP), yang merupakan cabang dari induknya, Proto Austronesia.
Di kawasan baru tersebut perbendaharaan budaya mereka bertambah. Budidaya tanaman yang berasal dari biji-bijian, mulai bertambah, misalnya mulai menanam kelapa, sagu, sukun, dan pisang. Pada saat itu, perhubungan laut juga mulai meningkat. Teknologi pelayaran mereka mulai canggih. Maka di antara mereka mulai ada yang bermigrasi ke pulau-pulau di nusantara, misalnya ke Sulawesi dan Maluku. Bahkan ada yang sampai ke pulau Mikronesia, Lautan Pasifik.
Dalam tahap selanjutrnya, puluhan tahun kemudian, mereka ada yang bermigrasi ke Jawa, Sumatra, dan Semenanjung Malaka. Ke arah timur, mereka menuju ke Nusa Tenggara, Maluku, Papua Barat, sampai ke kepulauan Bismarck. Di kawasan timur ini, budaya tanaman biji-bijian mereka tinggalkan dan beralih ke budidaya berbagai tanaman umbi-umbian. Bumi dan alam di nusantara bagian timur ternyata tidak cocok untuk tanaman biji-bijian.
Menurut pakar arkeologi yang lain, Daud Ario Tanudirjo, persebaran para penutur Proto Malayo Polynesia tersebut terjadi sekitar 4.000 hingga 3.300 tahun yang lalu. Hal itu ditandai luasnya distribusi gerabah berpoles merah..
KEMAMPUAN mereka mengarungi lautan jarak jauh, mendorongnya untuk terus mencari daerah baru yang kemungkinan lebih baik, atau lebih nyaman untuk hidup. Mereka telah mengenal strategi lompat katak. Dari pulau yang satu melompat ke pulau yang lain yang lebih dekat. Demikian seterusnya, sampai mereka tiba di pulau yang paling jauh.
Bahasa Proto Malayo Polynesia tersebut berkembang di kawasan barat nusantara sedangkan di kawasan Halmahera, Maluku, berkembang dan menjadi pusat bahasa-bahasa Proto Central Malayo Polynesi. Bahasa-bahasa Proto Eastern Malayo Polynesia berkembang di daerah Kepala Burung, Papua Barat dan bahasa-bahasa Proto Oceanic berkembang di Kepulauan Bismarck, Pasifik Barat dan sekitarnya.
Bentuk rumpun bahasa Austronesia ini tumbuh lebih menyerupai bentuk garu ketimbang bentuk pohon. Mengapa? Karena semua proto-bahasa dalam bentuk ini, dari Proto Malayo Polynesia hingga ke Proto Oceania menunjukkan kesamaan kognat yang tinggi, yakni lebih dari 84 persen dari 200 pasangan kata. Demikian menurut pakar arkeologi Daud Aris Tanudirjo.
Sementara itu menurut pakar bahasa Austronesia, Peter Bellwood, berbagai proto-bahasa yang pernah tersebar dari Filipina sampai Kepulauan Bismarck, boleh dikatakan satu bahasa, namun dengan sedikit perbedaan variasi dialek.

Austromelanesoid – Mongoloid

Mungkin Anda bertanya, nama makhluk apa lagi ini? Apakah ini nenek moyang kita? Jawabnya bukan! Sabar.
Dari hasil penemuan dan penelitian di pegunungan Sewu, bagian tengah Jawa Tengah-Jawa Timur, para ahli menemukan kohabitasi, bercampurnya dua suku bangsa di suatu wilayah, yaitu ras Australo-melanesid dengan ras Mongoloid dalam waktu yang hampir bersamaan. Kohabitasi dua ras tersebut jauh sebelum datangnya para penutur Austronesia yang berciri ras Mongoloid.
(1) Dalam situs purbakala di kawasan Jateng-Jatim tersebut ditemukan kerangka Austromelanesoid yang dikubur dalam posisi terlipat. Di tempat yang sama juga ditemukan kerangka Mongoloid dikubur dalam posisi terbujur.
(2) Penemuan kerangka manusia purba di daerah Wajak, dekat Tulungagung, Jawa Timur, menunjukkan ciri-ciri ras Mongoloid pada bagian wajahnya, sekaligus menunjukkan ciri-ciri ras Austromelanesid pada bentuk umum tengkoraknya. Dari bukti tersebut dapat disimpulkan, bahwa nenek moyang bangsa Indonesia adalah
  1. percampuran antara dua ras Austromelanesid dan Mongoloid yang mendiami bumi nusantara ini, gelombang demi gelombang, dalam waktu berabad-abad, kemudian bercampur dengan
  2. rumpun Asia dari India,
  3. bercampur lagi dengan rumpun Aria dari India, dan
  4. bercampur lagi dengan bangsa Semit dari Eropa, di masa-masa modern sesudahnya.Dari bukti-bukti arkeologis tersebut di atas maka orang akan sulit jika menetapkan mana sebenarnya yang disebut bangsa Indonesia yang asli. Apalagi sekarang! Zaman globalisasi. Kini dunia rasanya sudah menjadi satu. Kita sekarang sudah menjadi satu warga negara, warga negara  dunia. Kemanusiaan yang adil dan beradab – seperti yang diamanatkan oleh Sila ke-dua Pancasila — seharusnya sudah menjadi way of life semua bangsa di dunia. Apapun ideologinya, apapun filosofinya, apapun agamanya. Mankind is one!
Sumber : Nusantara Tour

0 comments:

Post a Comment