Wednesday, May 8, 2013

Peninggalan Sri Aji Joyoboyo di Kediri

Petilasan Sri Aji Joyoboyo


Petilasan Sri Aji Joyoboyo adalah sebuah petilasan atau tempat semedi raja dari kerajaan Kediri, yaitu Raja Joyoboyo. Selain sebagai Raja Kediri pada abad XII, Joyoboyo juga terkenal dengan kitab " JONGKO JOYOBOYO " yang berisi tentang ramalan-ramalan kejadian di masa yang akan datang.Petilasan ini merupakan situs bersejarah yang terletak di 15 Km dari pusat kota Kediri. Tepatnya di Desa Menang, Kecamatan Pagu, Kabupaten Kediri. Bangunan ini juga dikenal sebagai Loka Muksa.


Selayaknya tempat bersejarah, petilasan ini banyak dikunjungi oleh mereka yang ingin melihat beberapa peninggalan seperti, Sendang Tirto Kamandanu, Palinggihan Mpu Mharadah dan Arca Totok Kerot. Selain itu, banyak pula yang mengunjungi untuk berziarah, dengan puncak kunjungan terjadi pada 1 Suro, pada kalender Jawa.

Di pelataran Petilasan Sang Prabu Sri Aji Joyoboyo misalnya, kita selalu menemui orang-orang yang sengaja datang untuk berkontemplasi, berdoa pada Sang Maha Kuasa. Mereka yang datang ke tempat ini tidak hanya berasal dari Kediri dan sekitarnya, tapi juga masyarakat Jawa-Bali, bahkan ada yang datang dari luar negeri seperti Malaysia, Singapura, dan India.

Di petilasan yang terletak 10 kilometer dari kota Kediri ini, kita bisa menemui bangunan suci Loka Muksa, sebuah bangunan yang terdiri dari lingga dan yoni yang menyatu dengan sebuah manik (batu bulat berlubang di bagian tengah yang menyerupai mata). Secara keseluruhan, bangunan ini dikelilingi pagar beton bertulang yang dilengkapi tiga buah pintu. Konon, tiga pintu ini merepresentasi tingkat kehidupan kita yang meliputi lahir, dewasa, dan mati.


Sedangkan lingga dan yoni, mengandung pengertian unsur-unsur hidup yang terdiri dari laki-laki dan perempuan. Lingga dan yoni juga jadi simbol wadah (tempat) dan isi, lahir dan batin, raga dan jiwa, yang tampak dan yang tak tampak.

Batu manik yang menyatukan lingga dan yoni menjadi simbol pengabdian luhur Sang Prabu Joyoboyo. Dengan demikian, manik atau mata ini jadi representasi kewaskitaan. Keterpaduan antara sisi rasional dan irasional. Sedang lobang tembus artinya kemampuan untuk melihat jauh ke depan.

Seperti banyak di ulas di literasi sejarah, nama Joyoboyo memang lekat dengan imaji catatan dan ramalan.

Petilasan di Desa Menang ini terbagi menjadi tiga tempat yang sekaligus mewakili tiga fase muksa yang dialami Joyoboyo. Masing-masing Loka Mukso, Loka Busana, dan Loka Makuta. Loka Muksa merupakan tempat muksa atau hilang se-jasadnya, sedang Loka Busana berarti tempat singgah busana Sang Prabu, dan Loka Makuta berarti tempat pelepasan mahkota raja.

Pembangunannya Berawal dari Mimpi ?!
Sebelum berdiri megah seperti sekarang, dulu, petilasan ini hanya berbentuk gundukan tanah biasa. Sampai suatu saat, Warsodikromo, warga Desa Menang, mimpi dan mendapat wisik. Bahwa di area gundukan tanah yang kini telah menjadi rawa dan semak belukar, pernah hidup seorang raja Kadiri yang bernama Joyoboyo. Ini terjadi pada tahun 1860. 
Bagi masyarakat Jawa, mimpi seperti ini dianggap sebagai amanat. Sehingga, ketika mimpi ini diceritakan pada warga sekitar dan tokoh-tokoh spiritual, pencarian langsung dilakukan. Tak lama petilasan Joyoboyo-pun berhasil ditemukan. Keagungan nama Joyoboyo yang sudah didengar turun temurun, mengundang niat warga untuk merawat dan memperbaiki. Dan seiring perbaikan petilasan yang jatuh bangun, kawasan ini mulai ramai dikunjungi peziarah. Salah satu yang datang adalah keluarga Hondodento dari Yogyakarta. 
Sebagai bentuk penghormatan pada Sang Raja, keluarga Hondodento turun tangan memugar petilasan yang memiliki luas 1.650 meter persegi ini. Bahu membahu bersama masyarakat sekitar, pemugaran dimulai pada tanggal 22 Februari 1976, selesai 17 April 1976, ditandai dengan penyerahan hasil pemugaran pada Pemerintah Daerah Kabupaten Kediri.

Ritual 1 Syuro di Petilasan Sri Aji Joyoboyo

Prosesi diawali dengan arak Pusaka dari Balai Desa Pamenenag menuju Pamuksan Sria Aji Joyoboyo yang dikawal oleh Para sesepuh, emban dan pemuda-pemuda berpakaian adat jawa. Upacara ritual diantaranya Caos Dahar (Tabur Bunga) yang dilakukan oleh gadis- gadis untuk penghormatan kepada Sang Prabu Sri Aji Joyoboyo dan juga dilakukan do’a/permohonan di makam. 
Bertaburnya bunga melati di seluruh pelataran pamuksan dan dupa kemeyan yang dibakar menambah suasana sakral amat terasa, bunga melati yang warnanya putih melambangkan kesucian walaupun bunganya kecil mampu menebarkan keharuman. 
Ritual yang dilaksanakan tiap 1 Syuro ini untuk memohon keselamatan kepada Tuhan Yang Maha Esa dan untuk melestarikan Budaya warisan leluhur yang Adi Luhung.

Sendang Tirta Kamandanu

Tanggal 26 April 1980, sendang ini mulai dipugar. Karena tempat ini dianggap sebagai bagian tak terpisah dari petilasan Sang Prabu. Desain barunya, sendang ini menjadi kawasan taman segi empat berukuran 1.016 meter persegi. Sendang ini, dulunya kolam dengan sumber air alami yang memiliki banyak fungsi, salah satunya menambah kekuatan lahir dan batin manusia.


Bangunan utama, kolam pemandian yang airnya selalu mengalir melalui tiga tingkatan. Yaitu sumber, tempat penampungan, dan kolam pemandian. Kolam ini dilengkapi dengan Arca Syiwa Harihara (perdamaian, red) dan Ganesha. Selain itu, tempat ganti pakaian, gapura, tempat mengambil air, dan pagar. Sedang bangunan pelengkap terdiri dari halaman, gapura utama (Kori Agung dan Candi Bentar), dan pagar dengan patung dewa di masing-masing sudut. Masing-masing Bathara Wisnu, Brahma, Bayu, dan Indra.

0 comments:

Post a Comment